Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam Budaya Suku Batak

Dalam keanekaragaman budaya Indonesia, suku Batak merupakan salah satu etnis yang kaya akan tradisi, adat, dan nilai-nilai sosial yang telah diwariskan turun-temurun. Terletak di Sumatera Utara, suku Batak dikenal dengan masyarakatnya yang patriarki, dimana kepemimpinan dan warisan lebih banyak dipegang oleh laki-laki. Namun, kesetaraan gender kini mulai menjadi topik penting yang dibicarakan dalam konteks modernisasi dan pemahaman hak asasi manusia, termasuk dalam komunitas suku Batak. Hal ini dikarenakan adanya SDG's nomor 5 yaitu Kesetaraan Gender.

Menurut Romaia N.N , dalam suku Batak Toba terdapat sistem kekerabatan yang menampilkan budaya patriarki yaitu Dalihan Na Tolu dalam bahasa Indonesia berarti Tungku Nan Tiga. Tiga unsur dalam Dalihan Na Tolu diantaranya:

  • Manat Mardongan Tubu (kerabat satu marga), artinya memelihara hubungan antar kerabat satu marga khususnya laki-laki.
  • Elek Marboru (anak perempuan), artinya membujuk dan mengayomi saudara perempuan.
  • Somba Marhula-hula (keluarga perempuan), saudara perempuan harus hormat kepada saudara laki-laki dan orang tua.
Sistem kekerabatan tersebut masih sangat kental digunakan dan diterapkan suku Batak sebagai sikap dalam memperlakukan orang lain. Dua diantaranya dilakukan setelah ada pernikahan, yaitu Elek Marboru dan Somba Marhula-hula. Dua unsur tersebut merupakan cerminan patriarki antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Dalam setiap acara adat biasanya saudara perempuan tidak begitu dipandang dan hanya sebagai tamu yang tidak banyak ikut andil dalam acara utama, tapi memegang peran di dapur atau sering disebut parhobas yang artinya pelayan. Sedangkan saudara laki-laki menjadi raja dan tokoh utama dalam acara adat. Itu harus dan mutlak.

Contoh lainnya dalam hal warisan. Rumah milik orang tua akan diwariskan kepada anak lelaki bungsunya. Sedangkan jika anak lelaki hanya satu dan merupakan anak sulung, maka ia berhak mendapatkan warisan tersebut. Misalnya abang saya. Menurut kepercayaan yang diturunkan ke ayah saya, ia menganggap jika perempuan akan diambil oleh lelaki. Sehingga anak perempuan tidak berhak lagi untuk tinggal di rumah orang tua. Selain itu, dalam hal kepemimpinan adat dan ritual, laki-laki sering kali memiliki peran lebih dominan. Namun, ini bukan berarti perempuan tidak memiliki peran penting dalam masyarakat. Dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari dan kegiatan adat, perempuan memiliki peran krusial, meskipun tidak selalu terlihat secara eksplisit dalam struktur formal kekuasaan.


Sumber: Ngeri-ngeri sedap

Perubahan sosial dan kesadaran global tentang pentingnya kesetaraan gender telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan suku Batak. Pendidikan dan kesadaran akan hak-hak asasi manusia telah membuka jalan bagi perempuan Batak untuk mengambil peran lebih banyak di berbagai bidang kehidupan, termasuk politik, pendidikan, dan ekonomi. Inisiatif dan gerakan lokal untuk mempromosikan kesetaraan gender telah mulai menunjukkan perubahan positif dalam masyarakat.

Salah satu faktor penting dalam mendorong kesetaraan gender di kalangan suku Batak adalah pendidikan. Akses yang lebih luas dan merata bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan telah membuka banyak kesempatan bagi mereka untuk berkontribusi dalam berbagai sektor. Pendidikan juga berperan penting dalam mengubah mindset tradisional tentang peran gender.

Ayah saya pernah menceritakan bahwa kakak perempuannya tidak diizinkan untuk melanjutkan pendidikannya karena kondisi ekonomi. Saat itu, anak pertama, anak kedua, dan anak keempat (ayah saya) yang merupakan anak-anak lelaki di keluarga ayah melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi. Di situ, ayah saya tahu bahwa ketidaksetaraan gender di daerahnya sangat tinggi. Ayah saya sangat merasa terbebani karena ia harus melangkahi kakak perempuannya. Namun, ia tak pernah berhenti mengucapkan terima kasih kepada kakaknya. Oleh karena itu, ayah saya sangat berjuang mati-matian agar semua anak-anaknya sama-sama mendapatkan kesetaraan dalam pendidikan. Ia juga merasa saat ini sudah semakin banyak perempuan batak yang mengejar pendidikannya hingga ke jenjang yang tinggi. Modernitas benar-benar mengubah pola pikir suku batak.

Perlahan tapi pasti, perempuan Batak mulai menunjukkan kapasitasnya dalam kepemimpinan, baik di lingkup lokal maupun nasional. Beberapa perempuan Batak telah berhasil menembus batasan gender tradisional untuk menjadi pemimpin dalam berbagai bidang, menunjukkan bahwa kesetaraan gender dapat tercapai tanpa mengorbankan identitas budaya. Adaptasi budaya juga menjadi kunci dalam mewujudkan kesetaraan gender. Banyak keluarga dan komunitas Batak kini lebih terbuka dalam menerapkan prinsip kesetaraan gender, mengakui pentingnya kontribusi perempuan dan laki-laki secara seimbang dalam pembangunan masyarakat. Ritual dan tradisi adat juga mulai disesuaikan untuk lebih mencerminkan nilai-nilai kesetaraan ini.

Meskipun telah banyak kemajuan, tantangan masih ada, terutama dalam mengatasi stereotip gender dan diskriminasi yang masih berakar dalam beberapa aspek kehidupan. Pendidikan dan dialog terus diperlukan untuk mengatasi hambatan-hambatan ini. Harapan untuk mencapai kesetaraan gender dalam masyarakat suku Batak terus bertumbuh seiring dengan kemajuan pendidikan, kesadaran sosial, dan adaptasi budaya. Melalui upaya bersama, masyarakat Batak dapat terus bergerak menuju masyarakat yang lebih inklusif, di mana setiap individu, tanpa memandang gender, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meningkatkan Kualitas Hidup Kota Palembang Melalui Sanitasi

Tantangan ISPA terhadap Bonus Demografi di Kota Palembang